Subsidi Kerap Salah Sasaran, Saatnya Koperasi Ambil Peran untuk Pemerataan Energi

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada September 2025 lalu, Menteri Keuangan Purbaya menyatakan negara melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menanggung beban subsidi sebesar 70%, atau setara Rp30 ribu/tabung elpiji 3 kg sehingga harga jual eceran yang diterima masyarakat bisa ditekan ke level Rp12.750/tabung. Pernyataan itu kemudian dibantah Menteri ESDM Bahlil, yang menuding data yang disampaikan meleset sebab Menkeu salah baca dan masih perlu penyesuaian mengingat Purbaya baru menjabat. “Itu mungkin menkeunya salah baca data itu, biasalah mungkin butuh penyesuaian,” kata Bahlil kepada awak media di Kantor BPH Migas, Kamis, 2 Oktober 2025. 

Terlepas dari perdebatan tersebut, di banyak daerah harga LPG 3 kg di tingkat pengecer melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah. Fakta ini menunjukkan bahwa niat baik pemerintah untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah belum sepenuhnya tepat sasaran, karena kebocoran subsidi masih terjadi di sepanjang rantai distribusi. 

Pangkalan Gas LPG

Masalah utama terletak pada rantai pasok yang panjang dan tidak efisien. Dari agen hingga pengecer, setiap mata rantai menambah margin harga demi menutupi ongkos logistik atau mencari keuntungan tambahan. Akibatnya, masyarakat kecil di desa dan pinggiran kota justru harus membeli LPG bersubsidi dengan harga yang tidak mencerminkan nilai subsidi pemerintah. Untuk itu, perlu model distribusi yang lebih transparan, efisien, dan berpihak pada rakyat. 

Koperasi menawarkan solusi yang relevan dan berkeadilan. Dengan struktur yang demokratis serta berakar di komunitas, koperasi sembako atau koperasi transportasi dapat menjadi pengelola distribusi LPG 3 kg di tingkat lokal. Sistem koperasi memungkinkan pendistribusian langsung ke rumah tangga miskin dan pelaku usaha mikro tanpa perantara, sekaligus menekan biaya logistik melalui pengelolaan transportasi secara kolektif. Dengan cara ini, koperasi bukan hanya lembaga ekonomi, tetapi juga instrumen pemerataan energi yang memastikan subsidi tepat sasaran.

Pelayanan Kantor KSPPS

Lebih dari itu, koperasi dapat menjadi motor penggerak transisi menuju energi bersih. Melalui skema pembiayaan kolektif, koperasi dapat memfasilitasi pemasangan panel surya rumah tangga atau pengembangan energi biogas dari limbah organik. Inisiatif ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan LPG bersubsidi, tetapi juga memperkuat kemandirian energi masyarakat di tingkat lokal. 

Pegawai Kantor KSPPS

Pemerataan energi tidak cukup dengan subsidi, melainkan membutuhkan tata kelola yang partisipatif dan inovatif. Dengan memperkuat koperasi lokal serta mengembangkan energi alternatif seperti surya dan biogas, Indonesia dapat menata ulang sistem energi yang lebih adil, mandiri, dan berkelanjutan—di mana energi menjadi alat pemberdayaan rakyat, bukan sekadar beban anggaran negara. Upaya-upaya ini sejalan dengan semangat membangun Indonesia Berdaya, sebuah gagasan yang mendorong kemandirian energi dari desa, memperkuat ekonomi rakyat, dan memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap energi bersih yang berkeadilan. 

Ditulis oleh: Jenni Irene Connie 

Disunting oleh: Fauzan Ramadhan 

7 Oktober 2025