Dari Pacu Jalur ke Aura Farming: Menyalakan Semangat Baru dalam Pertanian Inklusif

Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan tren “aura farming” yang terinspirasi dari tradisi Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Pacu Jalur yang dulunya merupakan alat transportasi air untuk mengangkut hasil bumi seperti padi, kelapa, atau hasil ternak, kini berkembang menjadi ajang perlombaan perahu tradisional yang penuh semangat dan ekspresi budaya. Sosok Anak Coki yaitu remaja yang berdiri di ujung perahu dengan gerakan tari dan ekspresi penuh percaya diri menjadi simbol baru semangat muda, kebanggaan terhadap tradisi, sekaligus pancaran energi yang menginspirasi.
Menariknya, istilah “aura farming” yang muncul dari tren ini bukan hanya soal gaya atau selebrasi di media sosial. Ia bisa dimaknai lebih dalam sebagai simbol kebangkitan energi positif dalam sektor pertanian khususnya pertanian yang inklusif, berkelanjutan, dan berpihak pada regenerasi. Seperti halnya Pacu Jalur yang menyatukan kekuatan, irama, dan semangat gotong royong, praktik bertani pun idealnya dibangun dengan nilai yang sama: kerja kolektif, menyatu dengan alam, serta melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk pemuda, perempuan, dan kelompok rentan.

Dalam konteks inilah, aura farming menjadi lebih dari sekadar istilah, ia adalah ajakan untuk menghidupkan kembali pertanian yang ramah lingkungan, menggunakan pupuk organik, memperkuat kearifan lokal, dan membuka ruang ekspresi serta partisipasi generasi muda desa. Layaknya Anak Coki yang dengan percaya diri tampil di ujung jalur, kita butuh generasi muda yang berani berdiri di garda depan pertanian, membawa semangat baru yang berakar pada budaya, namun berpandangan jauh ke depan.
Dengan menjadikan pertanian sebagai ruang yang atraktif, berdaya, dan membanggakan, aura farming bisa menjadi gerakan nyata, menyemai semangat baru dari desa, menyatukan tradisi dan inovasi untuk masa depan0 yang lebih hijau dan adil.
Ditulis oleh: Jenni Irene Connie
Disunting oleh: Fauzan Ramadhan