Sukabumi Dorong Transisi Energi Berkeadilan: Perempuan Jadi Motor Perubahan

Sukabumi, 16 September – Memperingati Hari Pelestarian Lapisan Ozon Internasional, Indonesia menegaskan komitmennya mempercepat transisi energi berkeadilan. Langkah ini tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga memastikan perlindungan ekosistem bumi, termasuk lapisan ozon yang vital bagi kehidupan. Transisi energi berkeadilan dipandang sebagai agenda menyeluruh yang melibatkan pendanaan iklim, kesetaraan gender, dan pemberdayaan masyarakat rentan.
Berdasarkan estimasi Kementerian Keuangan (2024), kebutuhan pembiayaan iklim Indonesia mencapai Rp3.500 triliun hingga 2030—hampir setara dengan APBN 2025. Dana ini dibutuhkan untuk transisi energi, pengurangan emisi gas rumah kaca, penguatan infrastruktur menghadapi bencana, hingga peningkatan kapasitas adaptasi di sektor pertanian dan pesisir. Pemerintah telah memanfaatkan berbagai skema pendanaan, mulai dari hibah, bantuan teknis, ekuitas, hingga Transfer Anggaran Provinsi/Kabupaten Berbasis Ekologi (TAPE/TIP) dan obligasi daerah. Selain itu, Rp76,3 triliun per tahun telah dialokasikan untuk aksi mitigasi dan adaptasi iklim.
Namun, transisi energi bukan semata urusan teknologi dan pembiayaan. Inklusivitas menjadi kunci, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, agar tidak tertinggal dalam proses menuju energi bersih. Hal ini semakin relevan di tingkat lokal, seperti di Kabupaten Sukabumi yang terdampak langsung oleh aktivitas PLTU Palabuhanratu. Sebagian besar masyarakat, termasuk perempuan, masih bergantung secara ekonomi pada keberadaan PLTU, sehingga keterlibatan pemerintah daerah sangat penting dalam memastikan transisi energi berjalan adil dan berkelanjutan.

Proyek ProWomen-3 yang dilaksanakan oleh Rumah Energi dan didukung penuh Kementerian Dalam Negeri dan Ford Foundation menyelenggarakan lokakarya bertajuk Pemetaan Peluang dan Akses Pendanaan Iklim untuk Pengembangan Energi Terbarukan di Kabupaten Sukabumi pada Selasa, 16 September 2025 di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Lokakarya ini bertujuan memperkuat kapasitas, jejaring, dan strategi kolaboratif pemangku kepentingan di Kabupaten Sukabumi dalam memanfaatkan peluang pendanaan iklim dan Energi Terbarukan yang selaras dengan RUED Jawa Barat dan prinsip just transition.

Pada kesempatan opening speech, Sumanda Tondang, Direktur Eksekutif Rumah Energi, menyampaikan: “Transisi energi tidak bisa hanya dilihat dari sisi teknologi, tetapi juga bagaimana masyarakat di sekitar pusat energi bisa ikut berpartisipasi. Melalui pendampingan dan akses pendanaan iklim, perempuan dapat menjadi motor penggerak solusi energi bersih di lingkungannya.”

Ir. Bambang Widyantoro, MT, Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan, Ekonomi, dan Keuangan Kabupaten Sukabumi, menegaskan bahwa menuju Indonesia Emas harus menekankan aspek keberlanjutan. Kabupaten Sukabumi memiliki potensi energi terbarukan dari angin, tenaga surya, dan limbah ternak, namun pengelolaan sampah masih terbatas di TPA, “Diperlukan kolaborasi semua pihak, termasuk peran rumah tangga. Ibu rumah tangga dapat mengelola sampah organik menjadi energi, sehingga beban TPA berkurang dan emisi gas rumah kaca dapat ditekan,” ujarnya.
Eko Prasondita, Kepala Divisi Penyaluran dan Pinjaman BPDLH Kementerian Keuangan, menambahkan bahwa masyarakat kini dapat mengakses berbagai skema pendanaan, baik soft loan maupun hibah. “Skema ini mendukung pembangunan berkelanjutan melalui pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan ekosistem lingkungan, serta penguatan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan kebencanaan,” tegasnya.

Sementara itu, Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten Sukabumi melalui Jalaludin Mukti, ST, MSi, menyoroti dampak krisis iklim terhadap ketahanan pangan. “Saat ini kita masih mengalami surplus, namun tanpa kesiapan menghadapi perubahan iklim, hal ini bisa menjadi masalah serius bagi daerah. Karena itu, pemerintah daerah telah menyelaraskan arah kebijakan dengan pusat, berfokus pada penurunan emisi, peningkatan ketahanan terhadap bencana iklim dan lingkungan, serta pengelolaan sampah demi menciptakan lingkungan yang bersih dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Dari perspektif provinsi, Rizka Adhiswara, ST, Analis Konservasi Energi Dinas ESDM Jawa Barat, menyampaikan bahwa Jawa Barat memiliki potensi energi bersih hingga 192 GW, namun baru dimanfaatkan sekitar 2%. “Meski menjadi provinsi dengan pemanfaatan EBT tertinggi, Jawa Barat juga masih menjadi penyumbang energi fosil terbesar di Indonesia. Karena itu, pemerintah terus mendorong inisiatif pembangunan EBT di berbagai daerah dengan target bauran 20% pada 2025,” jelasnya.
Sebagai penutup, Maryati Abdullah dari Ford Foundation menegaskan pentingnya komitmen bersama. “Penurunan emisi sesuai Paris Agreement harus diwujudkan melalui transisi dari energi berbasis batu bara ke energi terbarukan. Proses ini perlu dikondisikan di berbagai level, dari pusat hingga daerah, serta ditopang oleh ekosistem pendanaan yang mudah diakses dan memberikan manfaat ekonomi,” pungkasnya.

Kolaborasi lintas sektor di tingkat lokal dan nasional diharapkan mampu menjawab hambatan yang dihadapi kelompok rentan, sehingga mereka dapat mengakses pendanaan inklusif untuk merespon krisis iklim. Selain sumber publik, pendanaan dari sektor swasta melalui program CSR dan lembaga keuangan juga berpotensi menjadi solusi, misalnya dengan menyediakan produk keuangan atau skema pembiayaan bagi teknologi ramah lingkungan skala rumah tangga maupun komunal. Hal tersebut telah dicontohkan secara nyata oleh PT. Insight Investment Management yang bekerja sama dengan Rumah Energi di proyek ProWomen-2 di Lombok Tengah dalam pembiayaan instalasi energi terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), yang dimanfaatkan Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk usaha pengolahan kopi.
Pertemuan kelembagaan seperti lokakarya ini diharapkan memperkuat strategi pemerintah daerah dengan memastikan keterlibatan perempuan bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga aktor utama transisi energi berkeadilan. Dengan menjadikan adaptasi dan mitigasi krisis iklim sebagai investasi hijau, setiap lembaga dapat berkontribusi pada perbaikan lingkungan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim.

Ditulis oleh: Jenni Irene Connie
Disunting oleh: Fauzan Ramadhan